Entri Populer

Rabu, 18 Mei 2011

Tangis Seorang Laki-laki

"Anak laki-laki kok nangis..??"

Itu sebuah doktrin orang tua yang sangat umum di sebagian masyarakat kita. Sampai mereka lupa bahwa kita dikaruniai dua mata tak sekedar untuk melihat dunia saja, melainkan untuk menitikkan air juga. Jadi sebenarnya, tak ada yang salah bila di sepanjang kehidupan, kita akan selalu dekat dengan yang namanya air mata.

Selama menjadi bayi, tangis adalah satu-satunya sarana komunikasi dengan dunia luar. Minta makan, nangis. Minta minum, nangis. Minta ganti popok yang kena pipis pun diungkapkan dengan cara yang sama. Beranjak balita, tangis adalah senjata utama untuk mengalahkan dominasi kekuasaan orang dewasa. Ingin jajan tidak diberi uang, nangislah dia sampai akhirnya hati orang tua luluh dan mau menuruti kemauannya.

Setelah belajar dewasa, kita mulai tidak adil dengan mengatakan tangis adalah milik kaum perempuan. Seolah-olah haram hukumnya bagi makhluk bernama laki-laki untuk berurai air mata. Laki-laki harus sekeras batu menghadapi kehidupan. Seolah kita lupa bahwa di balik batu gunung paling keras pun selalu ada urat air mengalir.

Air mata hanya bisa keluar dari kehalusan perasaan ketika bersentuhan dengan hal-hal yang mengusik hati nurani kita. Tangis dan airmata tidak lantas identik dengan wanita. Namun demikian, bukan berarti laki-laki itu makhluk yang tidak punya perasaan, cuma kadarnya saja yang berbeda. Yang jelas, secara umum laki-laki itu lebih "miskin" perasaannya dari pada wanita.

Laki-laki yang gampang menangis juga bukan lelaki banci, dan tentu saja predikat ini sungguh sangat merendahkan derajat dan martabatnya serta sangat menyinggung harga dirinya, sehingga menangis adalah hal yang tabu dan pantangan bagi laki-laki. Maka, sebagai laki-laki harus tahan dalam situasi apapun, jangan sampai ada butir-butir bening yang menetes dikedua pipinya, apalagi sampai dilihat orang lain. Kurang proporsionalnya laki-laki dalam memandang tangis dan airmata ini pada akhirnya akan menjadikan kaum lelaki bertambah "miskin" kehidupan emosionalnya. Sehingga sosok yang tampak adalah sosok yang kaku, penuh dengan perhitungan-perhitungan, dan jauh dari sosok yang lembut hati.

Laki-laki boleh menangis dan tetesan air matanya bukan sesuatu hal yang tabu untuk disaksikan, selama tangisannya bukan karena kecengengan, tapi menunjukkan betapa halus dan lembutnya perasaan yang ia miliki. Kehalusan dan kelembutan perasaan ini, sama sekali tidak akan mengurangi sosok pribadi yang tegar dan tegas, tapi justru akan menjadikan ia sebagai sosok pribadi yang ideal untuk dijadikan teladan bagi orang lain. Sebab kehalusan dan kelembutan perasaan akan menghasilkan sikap sabar, sedangkan ketegaran dan ketegasan akan menghasilkan sifat benar, sementara sabar dan benar adalah dua pilar yang harus dimiliki oleh laki-laki yang ingin sukses menjalankan fungsi ke-qowam-annya (pemimpin keluarga).

Memupuk sikap benar dengan mengenyampingkan sifat sabar, menyebabkan sayap ke-qowam-an menjadi tidak seimbang. Mengasuh kehalusan, kelembutan, dan kepekaan rasa, sebenarnya bukan hanya untuk kaum wanita, sebab dalam batas yang proposional menjadi hal yang harus dimiliki juga oleh laki-laki. Misalnya dalam hal kewajibannya mendidik wanita yang menjadi istrinya, maka mau tidak mau dia harus menyelami kehidupan emosional dan karekteristik perasaan istrinya, sehingga dia akan mampu 'mengendalikan' istrinya itu. apalagi bila istrinya itu memiliki karekteristik yang khas dan sedikit 'rumit', tentu saja ini semua membutuhkan kepekaan rasa.

Sia-siakah Tuhan menciptakan air mata untuk laki-laki..??

Aku rasa tidak. Norma di masyarakatlah yang menyia-nyiakan itu. Laki-laki tetap butuh pundak untuk menyandarkan diri dalam tangis ketika merasa sendirian di dunia. Hanya karena laki-laki dianggap kuat dan bisa melindungi perempuan, makanya lebih banyak perempuan yang bersandar di pundak laki-laki.

Dengan demikian tangis dan air mata bukan hanya milik wanita, tapi juga milik laki-laki. Maka, jangan simpan tangismu wahai laki-laki bila ada sesuatu yang membuat kau ingin menangis, sebab tangis tidak selamanya identik dengan kecengengan kalau itu benar keluar dari kehalusan dan kelembutan rasa. Sementara kehalusan dan kelembutan rasa bukan hanya milik kaum wanita, tapi juga milik laki-laki, sebab adalah sesuatu yang universal setiap orang pasti punya tangis meski dengan kadar yang bebeda.

Wallahu A'lam Bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar